Karawang || Bicaramedia.com– Menanggapi polemik yang berkembang atas dugaan pungutan liar (pungli) di MTs Al-Faridiah Cibuaya (Yaspif), serta adanya sanggahan pemberitaan yang dilakukan oleh salah satu oknum media online yang diduga berpihak tanpa melakukan konfirmasi yang utuh dan berimbang, kami dari Ikatan Wartawan Online Indonesia (IWO) DPD Karawang menyatakan sikap tegas.
Syuhada Wisastra, Ketua IWO DPD Karawang, menegaskan:
“Kami mengecam keras jika benar terjadi praktik pungutan yang tidak transparan dan memberatkan wali murid, terlebih jika sampai menyasar anak-anak yatim. Ini adalah persoalan serius yang tidak bisa dibiarkan. Pihak-pihak terkait, mulai dari Dinas Pendidikan, Kementerian Agama, hingga aparat penegak hukum, harus segera turun tangan untuk melakukan verifikasi dan investigasi menyeluruh. Jika terbukti adanya pelanggaran, maka sanksi tegas harus diberikan kepada pihak yang bertanggung jawab.”
Lebih lanjut, Syuhada menyoroti peran media dalam kasus ini:
“Kami juga menyesalkan adanya dugaan keberpihakan dari salah satu media yang tidak menjalankan fungsinya sebagai kontrol sosial secara profesional. Pers itu harus independen, berimbang, dan tidak menjadi alat pembenaran sepihak. Tugas wartawan adalah mencari, menyampaikan, dan membela kebenaran berdasarkan fakta, bukan menjadi tameng bagi pihak yang diduga melanggar hukum.”
Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, disebutkan pada Pasal 1 ayat (1) bahwa:
“Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik, meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi.”
Dan ditegaskan dalam Pasal 7 ayat (1):
“Wartawan bebas memilih organisasi wartawan.”
Namun pada ayat (2) disebutkan:
“Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.”
Kode Etik Jurnalistik Pasal 1 juga menyebutkan:
“Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.”
Bila ada oknum media yang melanggar prinsip ini, maka tidak hanya merusak citra jurnalistik, tetapi juga berpotensi melanggar hukum, khususnya jika pemberitaan menyesatkan dan membela praktik yang diduga melanggar hukum seperti pungli.
Terkait pungutan yang terjadi, berdasarkan keterangan wali murid yang menyatakan adanya pembayaran hingga Rp.265.000 — termasuk untuk anak yatim — hal ini patut didalami lebih lanjut. Jika pungutan tersebut tidak memiliki dasar hukum dan persetujuan yang sah, maka dapat dikategorikan sebagai pungutan liar, yang merupakan tindak pidana berdasarkan:
Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2016 tentang Satgas Saber Pungli
“Pungutan liar adalah segala bentuk pungutan yang tidak memiliki dasar hukum atau melanggar peraturan yang berlaku.”
Juga merujuk pada Pasal 368 KUHP:
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum memaksa orang lain untuk memberikan sesuatu, seluruhnya atau sebagian, milik orang itu atau orang lain… diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”
Syuhada mengakhiri pernyataannya dengan ajakan:
“Kami menyerukan kepada seluruh insan pers untuk menjaga integritas profesi. Jangan pernah berkompromi dengan kebenaran. Dan kepada pihak-pihak yang merasa dirugikan, silakan melapor ke aparat yang berwenang, atau juga ke Dewan Pers jika merasa dirugikan oleh pemberitaan yang tidak sesuai kode etik.”
(Red)